Ini curhatan gajelas waktu baru mulai tahun ajaran -___- buat Bu X, no heartfelt please. Hahahaha.
Semuanya berawal pada hari libur. Aku datang ke sekolah
karena urusan OSIS #BetulinDasi #Ditabok. Aku disuruh dateng terus tandatangan,
dengan lugunya aku nurut aja. Tapi ternyata dimintain daftar pengurus OSIS
disana, jadi aku nelpon anak-anak garagara lupa nama bendaharanya. Gurunya lagi
makan siang bentar, jadi aku nunggu di pos satpam. Ada buku besar kebuka di
atas meja, berisi daftar nama kelas-kelas yang udah disusun.
Aku nyari daftar kelasku. Nggak ada anak baru sih, tapi wali
kelasnya baru. Sebut aja Ibu X. Nama yang sama sekali asing, karena nggak
pernah ngajar kelas kita waktu tahun kemaren. Anak-anak juga pada nggak tahu.
Jadi yaudah, tungguin aja deh. Orangnya aja gak tau yang mana.
Hari pertama sekolah, waktu itu lagi istirahat. Aku balik dari
ngemos anak-anak kelas 7, singgah sebentar di 8-1 buat minum. Aku tak yakin aku
sedang berada di kelas, karena begitu memasuki kelas, yang kulihat adalah
anak-anak yang sedang naik-naik meja memasangi gorden. Sementara sang guru
enak-enakan duduk diatas singgasana kebesarannya. Aku langsung salam kepada
guru itu, kewajiban murid-murid sekolah, bukan?
Aku menyipitkan mata dan menatap guru itu dengan tatapan
menuduh. Kenapa dia tak membantu anak-anak? Kan kasihan.
Tapi itu belum apa-apa. Guru itu terus mencecar kami tentang
taplak meja, wastafel kotor, pengharum ruangan, sampul buku absen, buku IPA
bilingual, dsb, dsb. Oke, jika kamu bilang guru itu perhatian kepada penampilan
kelas. Tapi dia sama sekali nggak memerhatikan murid-muridnya. Nggak ikut
terlibat dalam satupun kegiatan kerja bakti kelas. Kerjanya cuma menyuruh
doang. Sudah gitu lidahnya nggak dijaga lagi.
Aku hanya bisa merutuk dalam hati, mendengarnya mengeluh dan
menuntut. Perasaan yang tak dapat didefinisikan itu datang lagi, kali ini
perasaan negatif.
Dia sangat berbeda dengan Bu Mulati, wali kelas kami yang
lama. Mulai dari sampul jurnal kelas, dia yang mengerjakan. Jika memberitahu
apa-apa dengan halus, dan sering bercanda. Bahkan pernah dia membawakan tanaman
lidah mertua untuk kami semua, ketika seisi sekolah disuruh membawa tanaman
untuk ‘mempercantik’ sekolah. Mengapa? “Daripada di rumah terus, sudah banyak
tanaman, lebih baik disumbangkan untuk sesuatu yang berguna, kan?” aku
membenarkan ucapannya dengan sepenuh hati. Aku terharu dengan kebaikannya.
Dan kini? Tatapan penuh kebencian kuarahkan ke arah meja
guru, ke arah guru gendut tanpa senyum. Tidakkah seseorang pernah
memberitahunya tentang sopan santun?