Pages

3.10.2014

Cie, putih abu-abu...

Soooo yes. Sembilan bulan sudah aku cuti dari ngeblog tanpa tahu malunya. Kayak orang mau lahiran. Padahal kalo dipikir-pikir sih gak ada yang dilahirkan, cuma menghasilkan kemalasan yang makin mendalam dan penyakit-penyakit baru lainnya. 

Sembilan bulan sudah aku menjalani kehidupan SMA. Mungkin gak nyampe sembilan. Kayaknya SMA itu sesuatu yang besar banget sampai-sampai menghentikan kehidupan bloggingku. Iya, memang besar. Kelihatannya nggak, kalau percakapan di bawah ini terjadi di sebuah reuni keluarga:

Tante Kepo: Eeeeh, Dini! Udah lama gak ketemu, kamu kok udah gede aja ya?
Dini: Eheheheh iya, Tante... (yamasa mau kecil melulu sih)
TK: Udah kelas berapa?
D: Sepuluh, Tante.
TK: Sepuluh... itu kelas berapa ya?
D: (plis deh tante) ... satu SMA?
TK: Aduh, cepet banget ya! Tiga tahun lagi lulus, terus kuliah...

SMA tiga tahun, lalu lulus kuliah. Seakan-akan SMA itu cuma salah satu proses formal supaya kita bisa melanjutkan kuliah, lalu kerja jadi dokter, insinyur, akuntan, atau pengacara. Yang penting banyak duit. Coba kalau bisa segampang itu.

Aku baru menjalani 9 dari 36 bulan masa SMA, jadi aku gak tahu banget makna SMA dan semacamnya. Tapi sejauh ini, SMA adalah masa ketika tanggung jawab kita nambah. Karena sekarang SMA-ku naik busway, kalo buku ketinggalan nggak bisa pulang untuk ngambil lagi kayak dulu. Kalo dompet ketinggalan, ngutang sendiri. Kalo tugas telat ngumpulin, samperin sendiri gurunya. Mengatur sendiri duit, waktu belajar, dan tugas-tugas bejibun itu mau gimana dikerjainnya. Guru-guru mah yang penting tahu beres aja.

Yang paling kerasa memang tugas-tugasnya, sih. Jelas, tugasnya lebih banyak dari waktu SMP. Entah kenapa rasanya natural aja, aku sadar kalo SMA memang seharusnya banyak tugas, jadinya keluhanku tentang tugas gak sebanyak itu. Lambat laun juga kerasa, selain kewajiban, kebebasan juga semakin bertambah. Mau jalan sama teman minta izinnya gak seribet dulu lagi, begitu juga kalo mau beli barang-barang dan sejenisnya. Pulang sekolah naik bus, dan bisa mampir-mampir. Yang penting gak berlebihan aja. Intinya, dua-duanya adil lah.

Lebih dari semuanya, buatku masa SMA adalah transisi. Dari aku yang sekarang, entah menuju apa. Manusia memang bakal terus berkembang seumur hidupnya, tapi seringkali aku ngerasa kalau ini saat-saatku. Saat-saat ketika aku menyadari semuanya yang terjadi, mencoba memahaminya, dan belajar sebanyak mungkin. SMA dan kuliah itu masa-masa muda yang harusnya diisi dengan kegiatan bermanfaat (AHAHAHAHAH) dan ketika semuanya bergerak cepat, penuh semangat hidup, sebelum masuk ke masa dewasa yang udah harus bertanggung jawab atas semuanya sendiri. Tapi di SMA, aku masih lebih banyak belajar dan berbuat kesalahan. Dan itu nggak apa-apa. Aku bangun kembali dan berjalan sedikit-sedikit kayak bayi.

Tentang awal-awal SMA-ku sendiri, rasanya kayak mengalami turbulensi yang entah kapan mulainya, dan gak tahu kapan akan berakhir. Dari SMP negeri, aku melanjutkan ke SMA swasta Katolik tempat ibuku dulu bersekolah, yang terkenal disiplin dan pendidikannya bagus. Rasanya aneh, karena temen-temenku yang melanjutkan ke negeri meratapi NEM-ku yang bagus nggak dipake untuk masuk SMA negeri, sementara temen-temen SMA-ku bahkan nggak tahu SMP-ku letaknya di mana. 

Kendalanya banyak juga, mulai dari agama (karena aku beragama Islam), yang untungnya gak begitu besar karena semuanya saling toleransi. Aku juga nganggepnya sebagai tambahan pengetahuan aja, dan juga supaya nggak sombong menganggap agamaku paling benar. Aku belajar kalau semua agama itu jalan yang benar, menuju Tuhan, hanya saja jalannya beda-beda.

Lalu generasi kami adalah generasi pertama yang menggunakan kurikulum 2013, maju sebagai ujung tombak--kalau berhasil diarak-arak, kalau gagal tidak ada yang peduli. Aku nyesek karena sekolahku gak punya jurusan Bahasa, akhirnya aku memilih jurusan Sosial, karena lebih gampang diterapkan ke kehidupan. Lagipula masa depanku dengan IPA udah suram sekali. Jika percakapan dengan Tante Kepo di atas dilanjutkan, akan jadi kayak gini:

Tante Kepo: Jadi kamu sekolah dimana?
Dini: *menyebutkan nama sekolah*
TK: Itu... sekolah Kristen?
D: Katolik, Tante. 
TK: Kenapa sekolah di situ?
D: (SUKA SUKA GUE LAH, KENAPA JADI LO YANG RIBET??) Sekolahnya bagus, Tante....
TK: Oooh. Tahun depan kamu mau masuk jurusan yang mana?
D: Sekarang malah udah penjurusan, Tante. Kan kurikulum 2013.
TK: Oh ya? Jadi kamu masuk jurusan mana?
D: Sosial, Tante.
TK: Kok Sosial? Nilai kamu kan bagus-bagus?
D: (TERUS HUBUNGANNYA APA..........)

Untungnya, SMP dan SMA-ku sama-sama gak membudayakan senioritas yang gila-gilaan, tapi selebihnya memang agak beda. SMP-ku bukan tergolong SMP negeri yang anak-anaknya banyak duit semua, dan anak-anaknya lebih santai dan apa adanya. Di SMA-ku, mayoritas memang anak-anak berada, meski gak semuanya juga. Aku gak pernah melihat sebanyak itu orang-orang yang memakai tas Jansport dan nenteng iPhone kemana-mana.

Untuk pertama kalinya, aku punya lingkaran pergaulan, atau semacam itulah. Temen-temenku punya temen yang punya temen-temen lagi, dan aku otomatis deket sama mereka. Rasanya tiba-tiba nyambung, nggak perlu ada usaha untuk fit in atau semacamnya. Itu keren, kemanapun kita pergi kita bakal menemukan spesies manusia yang sama dengan kita. Dulu kukira aku bakal stuck dengan 5-6 orang yang itu-itu aja dari SMP, tapi sekarang aku bisa punya banyak temen yang baik dan unik-unik, rasanya natural. 

Untuk pertama kalinya juga aku merasa bener-bener kesepian dan nggak connect dengan orang-orang di sekelilingku. Terasing. Itu gak enak banget, beneran. Mempertanyakan apa gunanya melanjutkan, dan apa aku bakal bisa berhasil. Mungkin kadang aku kelihatan kayak nggak mau bersosialisasi, padahal aku cuma ragu. Semua orang di sekelilingku bisa hidup dengan normal, dan kayaknya selalu tahu apa yang harus dilakukan. Aku nggak.

Kalau kamu mengalami hal kayak gini juga, jangan percaya sama siapapun yang menyebut masalahmu normal. Karena mengidentifikasi masalah ini di dalam dirimu aja artinya menyadari bahwa kamu berbeda. Berbeda itu nggak apa-apa. Kamu ga sama dengan orang lain, maka jangan pernah samakan. Semua orang berbeda, maka butuh waktu yang beda untuk beradaptasi dalam tingkat yang berbeda. Everything takes time lah. 

Beginilah posting yang awalnya berniat mengupdate keadaan saya, membahas masa SMA,  menjurus ke arah curcol dan berakhir dengan kalimat-kalimat ala Mario Teguh gini. Jebakan Batman sekali.

Yasudahlah. 


Tidak ada komentar: