Celoteh si Jingga oleh Ivy Londa. |
Buku ini isinya curcolan kak Ivy Londa, tapi curcolnya produktif. Disini dia menceritakan kepeduliannya tentang masyarakat dan lingkungan, perjalanan mencari Tuhan
Buku ini banyak ngebahas tentang pertanyaan-pertanyaan yang ga kejawab di kepalaku. Tentang nasib negara ini. Tentang orang-orang di sekitar kita. Tentang perasaan dan hidup yang emang sepele, tapi bikin penasaran terus-terusan. Setelah ngebaca buku ini, pertanyaan-pertanyaan itu masih nggak kejawab. Mungkin kita bakal menemukan diri kita tiduran di kasur, menatap langit-langit kamar, berusaha mencerna isi buku tadi.
Ada beberapa buku yang begitu halaman terakhir ditutup, ceritanya selesai. Kita cuma bisa mikir "wah seru banget ceritanya" atau mungkin malah "anjir buku apaan tuh. untung buku pinjeman." (pengalaman pribadi). Tapi gak dengan buku ini. Setelah selesai ngebaca, aku masih sedikit ga ngerti dan berusaha mendiskusikan isi buku itu di kepalaku. Tapi itu cuma menimbulkan pertanyaan baru, yang masing-masing akan menimbulkan pertanyaan baru, yang akan terus beranak pinak kayak kucing tetangga. Yang penting buku ini ngebikin kita berpikir dan menjadi kreatif. Begitu paham, aku ngerasa terinspirasi banget. Kaya brainfreeze gitu. Tiba-tiba wuzzz ada sesuatu yang nyerang otakku terus aku ngerasa pengen nulis, pengen melakukan sesuatu untuk bangsa, pengen lari-lari di lapangan, pengen nyanyi di kamar mandi, atau nulis racauan nggak jelas ini.
Ada bagian-bagian dimana aku ngerasa jleb juga sih. Kadang-kadang aku ngerasa berbeda sama temen-temen sekelasku. Pernah lain waktu lagi, aku ngerasa capek dan bosen menghidupi rutinitas yang sama terus-menerus. Atau karena harus selalu memakai topeng, yang cuma sesekali bisa dibuka di hadapan temen-temenku yang sebenarnya karena kebanyakan orang nggak bisa menerimaku ketika mereka menatap wajahku yang sebenarnya.
Bisa nggak sih ada sesuatu yang heboh sesekali di hidupku? Lalu aku berhenti berharap sebelum keinginanku jadi nyata. Pertama, karena aku inget di film Tokyo Magnitude, si tokoh utama juga berharap kayak gitu, detik kemudian Tokyo langsung diguncang gempa. Kedua, karena ngebaca bab Kromatik, yang bikin aku pengen ketawa sendiri entah kenapa, "Hahaha, ini gue banget!"
Hidup bukan tentang membuat matahari terbit di barat, tapi ini tentang menceritakan sebuah keajaiban pada matahari yang terbit dari timur. Bukan memaksa matahari untuk merangkak terbalik, tetapi bagaimana kau menceritakan tentang kisah mentari yang terbit dari timur dengan caramu sendiri, sehingga orang-orang berhenti dan mendengarkan kisahmu.
Kayak Kak Dea dan Salamatahari yang pernah aku tulis disini (kecuali Kak Dea tulisannya lebih imajinatif dan ceria, Coretan si Jingga lebih filosofis), semuanya balik lagi ke hal-hal kecil yang sering kali nggak kelihatan sama mata kita. Melihat aja ga cukup sebenarnya, kita harus bener-bener merhatiin sampe otak kita dipenuhi suara "KENAPA? KENAPA? KENAPA?" yang berulang-ulang kaya alarm rusak. Terus kita bakal jadi resah dan menulis untuk menyelidikinya. Atau cuma sekadar pengen cerita doang.
Tapi kayaknya aku masih belom punya mata yang memerhatikan sekeliling, atau otak yang cukup aktif untuk terus-terusan bertanya kenapa. Ngejaga barang-barang sendiri aja masih susah. Botol minumku yang Rubbermaid hilaaaaang. Buku Luna-ku juga. Mukenaku juga, tapi udah ketemu lagi di lemari sapu kelas. Oke malah curcol.
Yang aku kagum dari Kak Ivy/Jingga, karena kakak itu berani. Berani karena benar. Ikut berdemo Aksi untuk Iklim di HI. Keluar dari SMA karena nggak mau menghafalkan kalimat-kalimat yang cuma gitu doang--bukan belajar beneran. Berani menyuarakan pendapatnya di antara temen-temennya, meski artinya berbeda sendiri. Berani mengemukakan pendapatnya. Dan berani bermimpi! Dan semoga mimpinya bisa terwujud.
Dadah :D