Pages

3.23.2014

mari kita krisis identitas.

Postingan ini spontan banget, ya.

Padahal besok UTS Mat dan Penjas. Nanti malem deadline formulir Bina Antar Budaya. 

Terus aku lagi mood nulis di blog. Jadi, ya udah, aku nulis. 

Aku, dan banyak orang lain yang mengaku demikian, bekerja lebih baik di detik-detik terakhir. We work better under pressure. Semakin mendekati deadline, semakin semangat kita belajar, mengetik, menggambar, apapun itu. Waktu adalah rival sekaligus sahabat kita. 

Kemungkinan keduanya, kita hanyalah manusia-manusia penunda yang kesulitan menentukan prioritas. Kalau waktu sudah mengambil alih, ya, gak ada pilihan lain. Begadang, hayu. 

Eniwei, Bina Antar Budaya. 

Kita cuma dikasih jatah seminggu untuk menuntaskan form online untuk mendaftar. Menurutku itu waktu yang terlalu singkat karena... yah, lihat pernyataan di atas. Tapi memang, form itu berlapis-lapis dan kita ditanyain dari segala segi, mulai dari yang basic banget sampe kepribadian, cita-cita, dll dll. Gak salah juga sih kepo seperti itu, karena yang dipertaruhkan adalah nama bangsa Indonesia yang akan diletakkan di pundak manusia-manusia yang punya KTP aja belom, dan dipaket ke negeri asing yang ngomongnya mungkin masih pake bahasa tarzan. 

Lalu kolom-kolom isian seperti ini:


Bohong banget kalo pertanyaan seperti itu tidak membuatmu tercenung berapa jam sampai krisis identitas.

Menurutmu, seperti apakah sifat dan kepribadianmu?

Kalo yang ditanya penampilan sih gampang, karena kelihatan oleh mata biasa, dan objektif: contohnya hidung pesek, terlepas dari hidung itu jelek atau nggak. 

Kalo kelebihan/kekurangan? Sifat dan kepribadian?

Pernah gak sih, kita hidup lalu memutuskan: aku pengen jadi orang yang kayak gini. Tapi belum tentu kita bakal jadi orang seperti yang dimaksud. Mungkin aja, sih. Tapi definisi kepribadian kita nggak terbatas ke 'orang kayak gini', kan? 

Cantumkan saja apa yang dirasakan: baik, peduli pada sesama, netral, senang bergaul, periang, senang belajar, dsb, dsb. Tapi itu nggak akan cukup, toh? Rasanya kayak masih ada yang kurang, kayak, ini bukan gue banget. Mungkin karena itu merupakan opini dari diri kita sendiri mengenai kita, jadinya subjektif. Terlepas dari subjektivitasnya, meskipun semua pohon di dunia dijadiin kertas, nggak akan cukup untuk menulis sifat dan kepribadianmu, semua tentang kamu, apa yang membuat dirimu 'kamu'. Seseorang nggak cuma satu hal aja, atau dua hal aja, we're so much more than that.

Atau, justru kita cuma bisa diem, ngeliatin kursor yang berkedip-kedip di layar putih yang kosong.

Kadang aku merasa kayak gitu. Aku berusaha membaca semuanya, mencari tahu tentang semuanya, dan memandang semua dengan netral. "Ini bisa begini, TAPI..." "Kalo dilihat dari sisi ini bisa, tapi dari sisi lain..." Begitu netralnya, kadang aku ngerasa kayak bukan bagian dari hidup ini. Keseharian. Manusia-manusia yang bergerak statis setiap harinya dan bikin macet. Semua masalah, semua konflik, aku bukan bagian dari mereka. Aku di sini cuma sebagai pengamat. Kadang jadi mediator, menengahi orang, menyumbangkan seratus-dua ratus perak buah pikiran kepada orang lain--itu kalau mereka mendengarkan dan nggak sibuk sama drama mereka sendiri.

Kayak Amélie. Aku baru nonton filmnya beberapa minggu lalu dan aku langsung jatuh cinta. Salah satu film yang meskipun adegannya lagi ga lucu, gak ada angin-gak ada hujan, bisa bikin aku senyum. Amélie itu pemimpi yang tumbuh besar tanpa banyak teman. Punya pacar dan aspek-aspek kehidupan nyata lainnya nggak begitu cocok sama dia, jadi dia menikmati hidup dari hal-hal kecil yang remeh-temeh, mengamati, dan berkhayal. Suatu kejadian membuat dia bertekad pengen memperbaiki hidup orang di sekitar dia. Hidupnya sendiri? Ya, gitu aja. Aku bisa relate banget dengan konsep 'menjadi pengamat sekeliling', meskipun aku gak punya tekad semulia itu untuk ngurusin hidup orang lain yasih.

Tokoh lain adalah Elektra dari Supernova: Petir karya Dee. Dia selalu dibayang-bayangi kakaknya, Wati, dan menganggap dirinya di kursi penonton, menonton sandiwara kehidupan, ketawa-ketawa melihat orang-orang di panggung terkena ombak (dem aku lupa kutipan persisnya). Buku ini adalah perjalanan Elektra dari sekadar penonton menjadi pemeran dalam sandiwara kehidupan.

Kesimpulannya?

Nggak ada kesimpulan, sebenernya. Namanya juga curcol HAHA. Aku hanya berharap bisa membuatmu merenung bersama dan ikutan krisis identitas. Lihat judulnya. 

Dah!~
_________________________
  1. Baru nyadar, dari dulu aku selalu nyebut Matematika 'MTK'. Entahlah, kebiasaan mungkin. Begitu masuk SMA, semua orang di sini nyebutnya 'Mat'. Mat Solar kali. Awalnya aku dengernya ganjil banget. Tapi lama kelamaan aku terbiasa. Hah, gak penting.
  2. Di filmnya, Amélie sempet bilang, secara tidak langsung, dengan analogi dirinya sebagai gadis di lukisan penuh orang banyak yang kelihatannya kesepian, bahwa mungkin gadis itu merasa relate dengan seseorang di luar lukisan itu. Aku gatau, entah kenapa rasanya tersentil sekali setelah menulis post ini. Relasiku dengan karakter fiksi seperti Amelie dan Elektra. Aku gak tahu. This is weird and I should stop.